Bengkulu, Hwnews.id – Pemerintah dalam rapat bersama Komisi VIII DPR mengusulkan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) tahun 2023 sebesar Rp69.193.733. Bipih adalah komponen biaya yang dibayar oleh jemaah haji.
Jumlah Bipih yang diusulkan tahun ini adalah 70 persen total Biaya Penyelenggaran Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909. Sisanya yang 30% (Rp29.700.175) diambilkan dari nilai manfaat pengelolaan dana haji.
Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama Provinsi Bengkulu H. Muhammad Abdu.,S.Pd.I.,M.M mengatakan, KPK telah mendorong adanya efisiensi pembiayaan haji dengan tiga hal, yakni Efisiensi biaya Operasional Dalam Negeri (peralatan, Petugas yg sebutuhnya dan kompeten,) kemudian efisiensi biaya luar negeri (tiket pesawat, hotel dan konsumsi di saudi) serta optimalisasi Pengelolaan Dana Haji oleh BPKH
‘’Itu semua telah menjadi kajian KPK sejak 2019 (kajian optimalisasi pengelolaan dana haji oleh BPKH ) dan tahun 2020 Efisiensi Biaya operasional Haji secara umum baik di tanah air hingga ke Arab Saudi,’’ ungkap Kakanwil ketika bertemu dengan Pimpinan Pondok Pesantren pada acara penutupan Focus Group Discussion (FGD) di Nalla Sea Side Hotel Pantai Panjang Kota Bengkulu. Jum’at, (27/1/2023) lalu.
‘’Khusus efisiensi biaya luar negeri (tiket pesawat, hotel dan konsumsi di saudi) serta optimalisasi Pengelolaan Dana Haji oleh BPKH, memang perlu ditetapkan nilai manfaat yang perlu dibebankan kepada BPKH sehingga lebih terencana dengan target yang jelas dalam mengelola dana haji),’’ lanjut Kakanwil.
Lalu Kakanwil kembali menjelaskan, dari kajian KPK sejak tahun 2019 itu, diakui bahwa Kemenag telah menjalankan hampir semua rekomendasi perbaikan tata kelola perhajian. Hal ini dipertegas oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan dengan Menag Yaqut Cholil Qoumas di kantor KPK.
‘’Masih ada satu rekomendasi yang belum selesai dilakukan, dan itu berkenaan harmonisasi Undang-undang No 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) dengan Undang-undang No 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji,’’ terangnya.
‘’Karena hal tersebut perlu kesepakatan pihak pemerintah dengan DPR,’’ jelas Kakanwil lagi.
Sembilan rekomendasi KPK tersebut adalah disharmoni UU PIHU dan BPKH, penetapan BPIH yang berkeadilan, batasan yang jelas antara komponen direct dan indirect cost, batasan pendanaan tupoksi Ditjen PHU yang bersumber dari APBN dan indirect cost, seleksi petugas haji yang lebih optimal dan transparan, pengadaan barang dan jasa yang sesuai prinsip, penetapan embarkasi dan kloter yang lebih optimal, kelengkapan aturan pelaksanaan UU PIHU, serta penyesuaian struktur organisasi Ditjen PHU berdasarkan UU PIHU.
‘’Sehingga dengan kajian itu, seakan-akan kebijakan ini mengejutkan karena angkanya seperti naik sangat tinggi. Sementara jika kita contohkan Pada tahun 2022, dengan terbit Keputusan Presiden (Keppres) yang menyatakan besaran beban biaya haji bagi jemaah dari embarkasi Aceh hingga Makassar rata-rata Rp 39,8 juta per orang. Ini yang disebut (Bipih),’’ terangnya lagi.
‘’Sementara diketahui pada Saat itu, total biaya penyelenggaraan haji untuk setiap jemaah adalah Rp 81,7 juta. Sehingga selisihnya yaitu 41,9 juta di tanggung dari nilai manfaat. Ini artinya 48 % ditanggung oleh jamaah dan 52 persen nilai manfaat hasil dari pengusahaan BPKH,’’ lanjut Kakanwil.
Lalu Pemerintah kemudian menerbitkan Keppres Nomor 8 Tahun 2022 yang menyatakan kucuran besaran nilai manfaat dari BPKH bertambah dari yang semula 41,9 juta menjadi sekitar 47 juta alhasil nilai manfaat yang harus dikucurkan untuk memenuhi BPIH, BPKH harus menambah kembali menjadi sekitar 59-60 persen dari total biaya haji. Sebelum biaya operasional haji di Arab naik, lembaga itu hanya harus mengeluarkan Rp 4,2 triliun menjadi Rp 5,4 triliun.
‘’Kondisi ini jika diteruskan tinggal menunggu waktu, saatnya dana BPKH akan habis nilai manfaatnya, karena telah terforsir untuk menutupi biaya jamaah haji yang telah berangkat,’’ beber Kakanwil.
Padahal ditambahkan Kakanwil lagi, kebijakan formulasi komponen BPIH tersebut juga diambil dalam rangka menyeimbangkan antara besaran beban jemaah dengan keberlangsungan dana nilai manfaat BPIH di masa yang akan datang.
Karenanya pembebanan Bipih harus menjaga prinsip istitha’ah dan likuiditas penyelenggaraan ibadah haji tahun-tahun berikutnya. memang hal ini tersembunyi, karena beban jamaah yang lainnya yang belum berangkat yang harus menanggung nilai manfaat yang disuntikkan terlebih dahulu untuk mereka yang berangkat.
Dengan kondisi ini, Kakanwil meminta kepada masyarakat terutama pimpinan Pondok Pesantren agar mensosialisasikan hal ini kepada Jemaah. Karena kondisi ini bukan yang telah berangkat menjadi rugi, tetapi jamaah yang belum berangkat karena telah menanggung biaya jamaah yang telah berangkat yang dinilai manfaat pengelolaan Haji diambil secara over oleh yang sebelumnya.
‘’Hal inilah yang perlu kita semua ketahui sehingga tidak kemudian menilai biaya haji dinaikkan kemudian membebani jamaah secara sesenang wenang,’’ demikian Kakanwil.